BAB 1
LANDASAN TEORI
ESEFALOPATI HEPATIKUM
ESEFALOPATI HEPATIKUM
Ensefalopati Hepatikum (Ensefalopati Sistem Portal, Koma Hepatikum) adalah suatu kelainan dimana fungsi otak mengalami kemunduran akibat zat-zat racun di dalam darah, yang dalam keadaan normal dibuang oleh hati (Kaplan LJ, McPartland K, Santora TA : 627-8).
Ensefalopati hepatikum adalah suatu sindrom neuropsikiatri pada penderita penyakit hati berat yang ditandai dengan kekacauan mental, tremor otot, dan flapping tremor (asteriksis), yang dapat berlanjut pada keadaan koma dalam dan kematian (Adler DG, Leighton JA : 2004).
1.2 Etiologi
Bahan-bahan yang diserap ke dalam aliran darah dari usus, akan melewati hati, dimana racun-racunnya dibuang. Pada ensefalopati hepatikum, yang terjadi adalah:
1) Racun-racun ini tidak dibuang karena fungsi hati terganggu
2) Telah terbentuk hubungan antara sistem portal dan sirkulasi umum (sebagai akibat dari penyakit hati), sehingga beberapa racun tidak melewati hati
3) Pembedahan bypass untuk memperbaiki hipertensi portal (shunt sistem portal) juga akan menyebabkan beberapa racun tidak melewati hati. Apapun penyebabnya, akibatnya adalah sampainya racun di otak dan mempengaruhi fungsi otak.
Bahan apa yang bersifat racun terhadap otak, secara pasti belum diketahui. Tetapi tingginya kadar hasil pemecahan protein dalam darah, misalnya amonia, tampaknya memegang peranan yang penting.
Pada penderita penyakit hati menahun, ensefalopati biasanya dipicu oleh :
1) Infeksi akut.
2) Pemakaian alkohol.
3) Terlalu banyak makan protein, yang akan meningkatkan kadar hasil pemecahan protein dalam darah.
4) Perdarahan pada saluran pencernaan, misalnya karena varises esofageal, juga bisa menyebabkan bertumpuknya hasil pemecahan protein, yang secara langsung bisa mengenai otak.
5) Obat-obat tertentu, terutama obat tidur, obat pereda nyeri dan diuretik.
1.3 Klasifikasi Ensefalopati Hepatikum
Stadium ensefalopati hepatic dapat dijabarkan sebagai berikut.
1) Stadium 1
PredromalSedikit perubahan kepribadian dan tingkah laku, termasuk penampilan yang tidak terawatt baik, pandangan mata kosong, bicara tidak jelas, tertawa sembarangan, pelupa, dan tidak mampu memusatkan pikiran, penderita mungkin cukup rasional, hanya terkadang tidak kooperatif atau sedikit kurang ajar, afektif hilang, eufori, depresi, apati.
Tingkat kesadaran somnolen, tidur lebih banyak dari bangun, letargi.
Tanda – tanda :
a) Asteriksis,
b) Kesulitan bicara,
c) Kesulitan menulis
2) Stadium 2
Koma ringan
Pengendalian sfingter kurang.kedutan otot generalisata dan asteriksis merupakan temuan khas. Kebingungan, disorientasi, mengantuk Asteriksis, fetor hepatik
3) Stadium 3
Koma mengancam
Terjadi kebingungan yang nyata dengan perubahan tingkah laku yang mencolok. Penderita dapat tidur sepanjang waktu, bangun hanya dengan rangsangan. Asteriksis, fetor hepatic, lengan kaku, hiperreflek, klonus, grasp dan sucking reflek. (+++)
4) Stadium 4
Koma dalam
Penderita masuk ke dalam tingkat kesadaran koma sehingga muncul reflex hiperaktif dan tanda babinky yang menunjukkan adanya kerusakan otak lebih lanjut. Napas penderita akan mengeluarkan bau apek yang manis (fetor hepatikum). Fetor hepatikum merupakan tanda prognosis yang buruk dan intensitas baunya sangat berhubungan dengan derajat kesadarannya. Fetor hepatic, tonus otot hilang (++++)
1.4 Manifestasi klinik
Pada keadaan akut seperti pada hepatitis fulminan, ensefalopati hepatic dapat timbul dengan cepat dan berkembang menjadi koma akibat gagal hati akut. Pada penyakit sirosis, perkembangannya berlangsung lebih lambat.
a) Ensefalopati hepatikum akut (Fulminant hepatic failure)
Ditemukan pada pasien hepatitis virus akut, hepatitis toksik obat (halotan, acetaminophen), perlemakan hati akut pada kehamilan, kerusakan parenkim hati fulminan tanpa factor presipitasi. Perjalanan penyakitnya eksplosif ditandai dnegan delirium, kejang dan edem otak. Edem serebral kemungkinan akibat perubahan permeabilitas sawar otak dan inhibisi neuronal (Na+ dan K+) ATP –ase, serta perubahan osmolar karena metabolism ammonia. Dengan perawatan intensif angka kematian masih tinggi sekitar 80%.
b) Ensefalopati hepatikum kronik
Perjalanan penyakit perlahan dan dipengaruhi factor pencetus yaitu azotemia, analgetik, sedative, perdarahan gastrointestinal, alkalosis metabolic, kelebihan protein, infeksi, obstipasi, gangguan keseimbangan cairan, dan pemapakaian diuretic.
1.5 Pohon masalah (Web of Caution)
1.6 Pemeriksaan penunjang
1) Elektro Ensefalografi.
Dengan pemerikasaan EEG terlihat peninggian amplitude dan menurunnya jumlah sikllus gelombang per detik. Terjadi penurunan frekuensi dari gelombang normal Alfa (8 – 12Hz)
Tingkat ensefalopati Frekuensi gelombang EEG: frekuensi gelombang Alfa.
a) Tingkat 0 8,5 – 12 siklus per detik
b) Tingkat I 7 – 8 siklus per detik
c) Tingkat II 5 – 7 siklus per detik
d) Tingkat III 3 – 5 siklus per detik
e) Tingkat IV 3 siklus per detik atau negative
2) Pemeriksaan Kadar Amonia Darah.
Tingkat ensefalopati Kadar ammonia darah dalam µg/dl
Tingkat 0 < 150 Tingkat 1 151 – 200 Tingkat 2 201 – 250 Tingkat 3 251 – 300 Tingkat 4 > 300.
1.7 Pemeriksaan diagnostik
Diagnosis mulai ditegakkan jika telah tampak tanda – tanda Klinis berupa kekacauan tingkah laku, atau untuk kasus yang gawat, diagnosis harus ditelusuri dengan pemeriksaan amonia rutin karena perkembangan perburukan yang cepat (misalnya pada hepatitis fulminan).
Pemeriksaan fisik yang menyokong diagnosis adalah :
1) Pemeriksaan tingkat kesadaran : pola tidur penderita, komunikasi dengan penderita.
2) Menilai fungsi kortikal penderita : berbahasa, tingkah laku.
3) Menilai tremor generalisata.
4) Menilai flapping tremor : rutin dilakukan. Posisi tangan pasien lurus di sisi tubuhnya, terletak di atas tempat tidur dalam posisi tubuh berbaring, kemudian lengan pasien di fiksasi didekat pergelangan tangan, jari – jari tangan penderita diregangkan dan diekstensikan pada pergelangan tangan, kemudian minta penderita menahan tangannya dalam posisi tersebut. Tes positif terganggu jika perasat ini menyebabkan gerakan fleksi dan ekstensi involunter cepat dari pergelangan tangan dan sendi metakarpofalang (seperti gerakan kaku dan mengepak)
5) Menilai apraksia kontitusional : penderita tidak dapat menulis dan menggambar dengan baik pada penderita yang sebelumnya normal bisa menulis dan menggambar sederhana.
6) Tes Psikometri dengan Number Connection Test, untuk menilai tingkat intelektual pasien yang mungkin telah terjadi EH subklinis. Tes ini cukup mudah, sederhana dan
Normal Lama penyelesaian UHA : 15 – 30 detik
a) Tingkat I 31 – 50 detik
b) Tingkat II 51 – 80 detik
c) Tingkat III 81– 120 detik
d) Tingkat IV > 120 detik
1.8 Penatalaksanaan Ensefalopati Hepatikum
Terlebih dahulu harus diperhatikan apakah EH tersebut terjadi primer atau sekunder akibat factor pencetus.
Prinsip penatalaksanaan :
1) Mengobati penyakit dasar hati
Jika dasar penyakit adalah hepatitis virus, maka dilakukan terapi hepatitis virus. Jika telah terjadi sirosis berat (dekompensata) umumnya terapi ini sulit dilakukan, karena seluruh parenkim hati telah rusak dan digantikan oleh jaringan fibrotic, terapi terakhir adalah transplantasi hati.
2) Mengidentifikasi dan menghilangkan factor – factor pencetus.
3) Mengurangi produksi ammonia :
a) Mengurangi asupan protein makanan
b) Antibiotik Neomycin : adalah antibiotic yang bekerja local dalam saluran pencernaan merupakan obat pilihan untuk menghambat bakteri usus. Dosis 4x 1 – 2 g/hari (dewasa) atau dengan Rifaximin (derivate Rimycin) dosis : 1200mg per hari selama 5 hari dikatakan cukup efektif.
c) Laktulosa : berfungsi menurunkan pH feses setelah difermentasi menjadi asam organic oleh bakteri kolon. Kadar pH yang rendah menangkap NH3 dalam kolon dan merubahnnya menjadi ion ammonium yang tidak dapat diabsorbsi usus, selanjutnya ion ammonium diekskresikan dalam feses. Dosis 60 – 120 ml per hari: 30 – 50 cc per jam hingga terjadi diare ringan.
d) Lacticol (beta galaktosa sorbitol) dosis : 0,3 – 0,5 gram / hari.
e) Pengosongan usus dengan Lavement 1 – 2 kali per hari : dapat dipakai katartik osmotic seperti MgSO4 atau laveman (memakai larutan laktulosa 20% atau larutan neomysin 1 % sehingga didapat pH asam = 4 ) Membersihkan saluran cerna bagian bawah.
4) Upaya suportif III dan IV perlu perawatan supportif yang intensif : perhatikan posisi berbaring, bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, pasang kateter foley untuk balance cairan. Jika terdapat rupture varises esophagus pasang NGT untuk mengalirkan darah.
1.9 Pengkajian
1) Observasi
a. Tingkat kasadaran.(GCS)
b. Penurunan berat badan
c. Demam
d. Mual, muntah
e. Malaise umum
f. Peristaltik meningkat
g. Ketidakstabilan emosional
2) Potensial komplikasi
a. Ketidakstabilan elektrolit
b. Dehidrasi, malutrisi, anemia
c. Obstruksi usus, perforasi
d. Hemoragi
e. Syok
f. Fistula, peritonitis
g. Abces perianal, fistula, fisura
1.10 Diagnosa keperawatan
Dx 1 : Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan turunnya nafsu makan.
1) Tujuan
Nutrisi terpenuhi selama perawatan sesuai dengan kebutuhan.
2) Kriteria hasil
a. Menunjukkan peningkatan nafsu makan.
b. Hasil pemeriksaan laborat dalam batas normal
3) Intervensi
a. Kaji status nutrisi dan kaji klien dengan mengidentifikasikan makanan yang mengiritasi
R:makanan yang mengandung sarbitol dapat menyebabkan atau memperberat diare,dan mengkonsumsi gula akan menyebarkan gelembung udara untuk mengurangi distensi lambung.
b. Berikan diet tinggi kalori, protein, dan mineral; rendah zat sisa, lemak dan serat
R:Makanana tinggi serat dan tinggi lemak akan menyebabkan iritasi saluran usus.
c. Berikan dorongan klien untuk mengikuti waktu makan yang telah direncanakan
R:Jadwal makan tepat waktu akan membantu proses pengosongan usus
d. Pertahankan catatan masukan dan hindari makanan yang telah di rencanakan
R:Muntah dan diare dapat dengan cepat menyebabkan dehidrasi.
e. Berikan dorongan pada klien untuk makan dengan perlahan, menyunyah dengan baik, dan menggigit dalam jumlah sedikit
R:Makan terlalu cepat dapat meningkatkan resiko iritasi lambung
f. Sajikan makanan dengan menarik di ruangan yang berventilasi baik
R:Menambah nafsu makan
4) Evaluasi:
a. Nutrisi terpenuhi selama perawatan sesuai dengan kebutuhan.
b. Pasien dapat mempertahankan berat badan sesuai umur
c. Hasil pemeriksaan laborat dalam batas normal
Dx 2 : Intoleran Aktifitas berhubungan dengan kelemahan otot
1) Tujuan
Klien dapat beraktifitas sesuai dengan batas toleransi.
2) Kriteria hasil
a. Pasien menunjukkan perilaku yang lebih rileks
b. Pasien menunjukkan peningkatan dalam beraktifitas.
3) Intervensi
a. Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktifitas contoh: apakah tekanan darah stabil, perhatian terhadap aktifitas dan perawatan diri.
R: Stabilitas fisiologis penting untuk menunjukkan tingkat aktifitas individu.
b. Jelaskan pola peningkatan bertahap dari aktifitas contoh: posisi duduk di tempat tidur, bangun dari tempat tidur, belajar berdiri dst.
R: Kemajuan aktifitas bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada kerja jantung.
c. Berikan bantuan sesuai dengan kebutuhan (makan, minum, mandi, berpakaian dan eleminasi).
R: Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi.
4) Evaluasi:
a. Pasien menunjukkan perilaku yang lebih rileks
b. Pasien menunjukkan peningkatan dalam beraktifitas
Dx 3 : Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan pecahnya pembuluh darah
1) Tujuan
Terpelihara dan meningkatnya tingkat kesadaran pasien, kognisi dan fungsi sensori / motor
2) Kriteria hasil
a. Klien tidak gelisah
b. Tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, dan kejang
c. GCS = 4 – 5 – 6
d. Pupil isokor
e. Refleks cahaya + / +
f. Tanda – tanda vital dalam batas normal (S = 36 – 37,8 C, P = 60 – 100 x/menit, N = 16 – 20 x/menit, TD = 110 / 80 – 130 / 80 mmHg)
3) Intervensi
a. Berikan penjelasan kepada keluarga klien tentang sebab peningkatan TIK dan akibatnya
R : Keluarga lebih berpartisipasi dalam proses penyembuhan
b. Baringkan klien (bed rest) total dengan posisi tidur terlentang tanpa bantal
R : Perubahan pada tekanan intrakranial akan dapat menyebabkan risiko untuk terjadinya herniasi otak
c. Monitor tanda – tanda status neurologis dengan GCS
R : Dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut
d. Monitor TTV
R : Pada keadaan normal autoregulasi mempertahankan keadaan tekanan darah sistemik berubah secara fluktuasi. Kegagalan autoregulasi akan menyebabkan kerusakan vaskuler serebral yang dapat dimanifestasikan dengan peningkatan sistolik dan diikuti oleh penurunan tekanan diastolik. Sedangkan peningkatan suhu dapat menggambarkan perjalanan infeksi.
e. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian Terapi farmako : steroid, aminofel, antibiotik
R : Terapi steroid menurunkan permeabilitas kapiler, terapi aminofel menurunkan edema serebri, terapi antibiotika menurunkan metabolik sel / konsumsi dan kejang.
4) Evaluasi :
a. Klien tidak gelisah
b. Tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, dan kejang
c. GCS = 4 – 5 – 6
d. Pupil isokor
Dx 4 : Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelemahan dan kerusakan perceptual / kognitif
1) Tujuan
Mobilias fisik klien kembali efektif dan adekuat
2) Kriteria Hasil
a. Aktivitas pasien (ADL) dapat dilakukan secara mandiri
b. KU pasien baik dan kesadaran composmentis
c.
MMT = 5 5
MMT = 5 5
5 5
3) Intervensi
a. Bantu pasien untuk merubah posisi tiap 2 jam sekali atau beri bantal pada bawah punggung
R : Merubah posisi tiap 2 jam sekali memberikan kelancaran sirkulasi darah dan pemberian bantal mencegah penekanan pada organ yang menonjol
b. Bantu aktivitas pasien dalam pemberian makan / NGT
R : Memberikan kecukupan nutrisi pasien secara adekuat
c. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi dalam latihan gerak fisik
R : Latihan gerak fisik yang terlatih dapat mencegah kontraktur
4) Evaluasi
a. Aktivitas pasien (ADL) dapat dilakukan secara mandiri
b. KU pasien baik dan kesadaran composmentis
Dx 5 : Defisit perawatan diri b.d kerusakan neuro muskuler, penurunan kekuatan dan ketahanan, kehilangan kontrol /koordinasi otot
1) Tujuan
Perawatan diri individu dapat terpenuhi secara adekuat
2) Kriteria Hasil
a. Klien dapat menunjukkan perubahan gaya hidup untuk kebutuhan merawat hidup
b. Klien mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan
c. Mulut bersih dan tidak berbau
d. Rambut tidak berminyak dan kotor
e. Seluruh tubuh bebas dari minyak
3) Intervensi
a. Observasi kemampuan dan tingkat penurunan dalam skala 0 – 4 untuk melakukan ADL
R : Membantu dalam mengantisipasi dan merencanakan pertemuan kebutuhan individual
b. Hindari apa yang tidak dapat dilakukan klien dan bantu bila perlu
R : Klien dalam keadaan cemas dan tergantung hal ini dilakukan untuk mencegah frustasi dan harga diri klien
c. Menyadarkan tingkah laku / sugesti tindakan pada perlindungan kelemahan. Pertahankan dukungan pola pikir izinkan klien melakukan tugas, beri umpan balik, positif untuk usuhanya
R : Klien memerlukan empati, tetapi perlu mengetahui perawatan yang konsisten dalam menangani klien. Sekaligus meningkatkan harga diri, memandirikan pasien, dan menganjurkan klien untuk terus mencoba
d. Beri kesempatan untuk menolong diri seperti menggunakan kombinasi pisau garpu, sikat dengan pegangan panjang, ekstensi untuk berpijak pada lantai atau ke toilet, kursi untuk mandi
R : Mengurangi ketergantungan
e. Kolaborasi dengan dokter terapi okupasi
R : Untuk mengembangkan terapi dan melengkapi kebutuhan khusus.
4) Evaluasi
a. Klien dapat menunjukkan perubahan gaya hidup untuk kebutuhan merawat hidup
b. Klien mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan
c. Mulut bersih dan tidak berbau
1.11 Evaluasi
1) Menunjukkan kesadaran
2) Menunjukkan peningkatan nafsu makan.
3) Hasil pemeriksaan laborat dalam batas normal
4) Tanda vital yang stabil.
5) Masukan dan haluaran seimbang.
6) Pasien menunjukkan penurunan pada frekuensi defekasi.
7) Nutrisi terpenuhi selama perawatan sesuai dengan kebutuhan.
8) Hasil pemeriksaan laborat dalam batas normal.
9) Pasien menunjukkan perilaku yang lebih rileks.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito Lynda Juall (2000), Diagnosa Keperawatan: Aplikasi Pada Praktek Klinik, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Evelyn C.pearce (1999), Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Gallo, J.J (1998). Buku Saku Gerontologi Edisi 2. Aliha Bahasa James Veldman. EGC. Jakarta
Guyton and Hall (1997), Buku Ajar: Fisiologi Kedokteran, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Marilynn E, Doengoes, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Jakarta : EGC
Nugroho.W. (2000). Keperawatan Gerontik. Gramedia. Jakarta
Pusat pendidikan Tenaga Kesehatan Departemen Kesehatan. (1996). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan , Jakarta, Depkes.
Tuti Pahria, dkk, (1993). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Ganguan Sistem Persyarafan, Jakarta, EGC.
0 komentar:
Post a Comment